Ada rempah terselip di rak dapur kita. Pada butiran yang telah fusi dalam masakan dan bermetamorfosa menjadi sebuah kesedapan. Dalam sebentuk likuid berkhasiat yang kita minum dan lantas memulihkan kesehatan kita. Penggunaan rempah sebagai bumbu, penguat cita rasa, pengharum, pengawet makanan (FAO, 2005), hingga jamu, kosmetik, dan antimikroba, telah luas dipergunakan masyarakat hingga mengangkat namanya. Demikian pula herba, tumbuhan herbal untuk vitalitas dan penyembuhan berbagai penyakit. Rempah ada di keseharian kita.

Namun satu pertanyaan, apakah kesemua rempah dan herba lahir dari tanah Indonesia, diproduksi oleh tangan-tangan lokal, dan membawa kebaikan pada bumi Nusantara kita? Kadang kita masih bergantung pada rempah dari negara tetangga, di saat di Indonesia rempah dan herba tumbuh subur dan bisa dimaksimalkan, serta membawa kebaikan bagi petani-petani rempah lokal.

Agradaya menginginkan kita semua mencicipi hasil rempah dari tangan petani lokal, yang lahir dari sebuah pulau dari Nusantara, dan dibeli dengan mekanisme yang tak serampangan. Kami ingin kita semua mencicipi kunyit, temulawak, jahe, dan cengkih dari Perbukitan Menoreh. Juga telang, salam, dan sereh dari Dusun Planen. Kami berpikir dari cita-cita sederhana, bila rak di dapur diisi oleh bumbu dan bahan wedangan dari rempah lokal, ada berapa petani yang menuai manfaatnya? Ada berapa petani yang masih yakin untuk melanggengkan penanaman rempah dan herba, karena masih ada orang-orang yang menanti-nanti khasiatnya? Agradaya percaya, yang lokal dan ditumbuhkan pribadi dalam skala yang tak terlalu masif, akan memaksimalkan rasa dan memberikan keberlangsungan secara sosial dan lingkungan. Oleh sebab itu, Agradaya berfokus pada rempah dan herba yang diproduksi dengan alami, ditanam secara lokal, dan dibeli dengan harga tetap yang berorientasi pada jasa; bukan hanya hasil panen.